Sabtu, 06 Agustus 2016

Cerpen Romance Remaja


Assalamu'alaikum,
Hai hai berjumpa lagi setelah skian lama hiatus
kali ini mimin mau pos cerita lagi, sekuel dari Stone cold
mmmm, apa lagi ya, ya pokoknya gitulah 
selamat membaca



THE ONLY ONE
“Thank you for everything, you have given to me, My Friend.”


            “Nia,” panggil seorang dengan suara baritone yang terdengar sengau miliknya di seberang telepon.
            “Iya.” Sahut Nia, seorang gadis berjilbab berumur 15 tahun itu kepada lawan bicaranya di seberang sambungan.
            “Ini aku Afa.”
            “Tentu saja aku tahu. Ada apa denganmu? Kau sakit? Suaramu terdengar beda.”
            Nia seorang gadis yang sekarang berada di tahun kedua SMA. Dia gadis yang berteman dengan seorang lelaki yang bernama Afa. Mereka sudah berteman selama 3 bulan. Tapi bila mengingat masa lalu mereka, maka mereka sudah terhitung berteman 1 tahun 3 bulan. Afa juga berada di tahun kedua namun ia memilih jurusan yang berbeda dengan Nia.
            “Kau sedang sibuk?” tanya Afa. Nia lalu melirik jam tangan yang bertengger di pergelangan tangan kirinya yang kurus itu. Waktu menunjukkan pukul 10.00 pagi di hari Sabtu. Hari ini dia sedang berada di rumah temannya, mengerjakan tugas. Bila dihitung, dia sudah disini selama 2 jam tentunya juga mereka sudah memulai kegiatan mereka.
            “Aku sedang berada di rumah teman. Tapi sebentar aku tanya du—”
            “Kalau memang sedang sibuk, tidak u—” mereka saling memotong kalimat.
            “Hei, Afa. Kau sudah lama mengenalku, bukan? Kau tahu aku keras kepala, kan?” aku Nia kepada Afa.
            “Nia—”
            “Aku akan kesana. Sekarang kamu dimana?”
            Terdengar Afa menghela napasnya di seberang telepon. “Memang keras kepala.” Lanjutnya kemudian.
            “Makanya jawab pertanyaanku, Afa!” perintah Nia. Ia tidak sadar kalau sekarang ini dia sedang berada di beranda rumah temannya, berada di kompleks perumahan.
            “Baiklah. Temui aku di cafe kesukaanku. Cepat.” Perintah Afa kemudian.
            “Cafe yang di dekat rumahmu?” tanya Nia belum mengerti.
            “Tentu saja.”
            “Oke. Diam dan duduk manis di sana. Aku naik angkot dan kemungkinan lama.”
            “Usahakan cepat.” Afa lalu menutup teleponnya. Begitupula Nia. Dia lalu melangkah masuk ke dalam rumah.
            “Dasar orang itu.” Cercanya kemudian.
            “Ada apa? Kayaknya asyik banget topiknya.” Sindir si pemilik rumah.
            “Maaf, aku cuma kaget aja tadi. Eh ngomong-ngomong Risa, aku ada keperluan mendadak nih. Di sini tapi belum selesai, gimana nih?” tanya Nia ke Risa dengan nada memelas, dan jangan lupa muka memelasnya.
            “Keperluan apa?” tanya Risa dengan penuh nada interogasi miliknya.
            “Ya pokoknya keperluan yang nggak bisa diganggu. Nanti aku kesini lagi kalau kalian belum selesai. Lagipula, tadi aku sudah nyumbang buat lagunya, kan?” aku Nia mencari-cari bahan permohonan.
            “Yee, kan cuma lagunya.” Sergah Risa. “Dan juga alasanmu kurang meyakinkan.” Lanjutnya kemudian.
            “Udah lah, ijinin aja dia. Kemarin aku juga ijin kan? Biar adil gitu.” Bela Tari yang juga jadi salah satu anggota kelompoknya, semua anggota kelompok yang gender nya perempuan semuanya memakai jilbab di kelas Nia.
            Risa menghela napas pasrahnya. “Baiklah tapi nanti balik lagi kesini.” Ucapnya kemudian.
            Nia yang mendengar hal ini langsung kegirangan dan menyahut, “Iya Risa. Nanti aku bakalan balik kesini kalau kalian belum selesai. Mm,” dia menoleh ke arah Ama.
            “Ama, kamu bosen kan disini? Daripada mati kebosanan di sini, mending cari angin yuk! Anterin aku ke depan SMA, cari angkot.” Pinta Nia ke Ama.
            “Kok angkot? Nggak di jemput sama Mama mu?” tanya Risa lagi.
            “Eto, sebenarnya ini keperluan sesama teman aja. Nggak sampai keluarga.” Aku Nia kemudian.
            “Kalau begitu ya udah nggak jadi diijinin.”  Ucap Risa kemudian.
            “Haaa, Risa. Kamu tadi denger aku ngobrol di telepon kan? Tadi kamu denger aku kaget kan? Itu tentang temenku, dia sedang butuh bantuanku sekarang juga, kumohon Risa. Kali ini aja.”
            Risa menghela napas lagi, “Baiklah.”
            “Makasih Risa. Ayo Ama, kita telat nih.”
            “Ayo ayo.” Nia lalu kemudian di antar Ama dengan sepeda motornya hingga depan sekolah mereka untuk mencari angkot.
            “Nggak sekalian aku anter aja, kalau emang telat?” tawar Ama ketka di tengah jalan.
            “Nggak usah, kamu bantuin anak-anak aja. Lagian kamu nggak bawa helm dua. Kalau sampai depan sekolah masih aman, kalau sampai sana..., aku ragu kita bakalan selamat.” Cegah Nia. Sebenarnya dia tidak ingin kalau Ama tahu ternyata tempat yang dituju Nia adalah sebuah cafĂ©.
            “Huh, ya udah deh.” Mereka lalu melanjutkan perjalanan mereka, hingga akhirnya mereka sampai. Nia lalu turun dari motornya Ama.
            “Mau aku temenin sampai dapat angkot?” tawar Ama kembali, dia malas jika harus balik sekarang dan berkutat dengan yang namanya tugas.
            “Nggak usah Ama. Btw, makasih ya. Semangat ya buat nyelesaiin tugasnya, doaku mengiringi kalian.” Kata Nia dengan senyumannya yang terkesan bernuansa kemenangan.
            “Kalau begitu, cepatlah kembali. Aku tidak bisa membantu banyak di sana.”
            “Hm, aku akan kembali kalau kalian belum selesai.” Ama lalu kemudian meninggalkan Nia yang kemudian menunggu angkot. Dan akhirnya ada, ia lalu naik angkot tersebut menuju ke tempat tujuan.
            Sesampainya di sana, Nia lalu buru-buru masuk ke dalam cafe karena ia tahu kalau temannya pasti sudah menunggunya. Tiba-tiba salah satu pelayan cafe menghampirinya. “Permisi, Nona. Apakah Anda yang bernama Nia?” tanya si pelayan.
            “Iya dengan saya sendiri.” Jawab Nia mencoba sopan.
            “Anda sudah ditunggu di dalam.”
“Oh benarkah? Terimakasih kalau begitu.” Dia pergi ke dalam ruangan. Di cafe  ini memang menyediakan dua tempat. Ada yang berada di dalam cafe, dan ada yang berada di dalam ruangan yang berada di dalam cafe.
Dia lalu membuka pintu ruang tersebut, dan melihat meja di pojok kanan ruangan sudah ada si Afa. Hanya dia seorang yang ada di sana. “Gomen, aku telat. Udah nunggu lama?” tanya Nia.
“Jangan pakai bahasa alien.”
“Heh, itu tadi kan cuma bahasa Jepang, artinya maaf.”
“Tetap saja. Alien itu makhluk asing. Jadi bahasa asing sama saja bahasa alien.”
“Terse— Hei jawab pertanyaanku, Afa!” sergah Nia yang kemudian meletakkan pantatnya di sofa seberang meja Afa. Maksudku, mereka di meja berbeda. Mereka buat kesepakatan untuk jaga jarak, walaupun mereka hanya berteman.
“Tentunya kau lama.” Sahut Afa.
“Maaf maaf.” Sesal Nia dengan senyuamannya dan sambi menggaruk tengkuknya yang tidak gatal.
Dan tanpa sadar, Afa pun tersenyum. “Ngomong-ngomong, ada apa?” tanya Nia sambil menatap Afa. Afa yang tadinya tersenyum manis, kini merubah senyuman tersebut hingga layak disebut menyeringai. “Tunggu dulu, bukannya tadi di telepon suaramu sengau?! Dan ada apa dengan wajahmu itu?! Mungkinkah— Oh baiklah, katakan maumu.” Nia lalu meletakkan kedua sikunya ke meja dan tangannya menjadi topangan kedua pipinya yang bisa dibilang chubby itu, oh jangan lupa wajah sebalnya itu.
“Maaf membuat Anda menunggu.” Tiba-tiba pelayan yang tadi masuk dan membawa segelas ice cappucino. “Silakan,” katanya setelah meletakkan minuman tersebut di meja Nia.
“E, maaf saya tidak memesannya.” Katanya sambil mendorong minuman itu.
“Aku yang memesannya.” Sahut Afa.
“Silakan dinikmati.” Dan pelayan itupun pergi meninggalkan mereka berdua yang berada di ruangan itu.
“Jadi?” tanya Nia kemudian sambil mengaduk minumannya dengan sedotan. Lalu meminumnya.
“Ajarin gue nembak.”
Nia terbatuk. “Maaf-maaf.” Dia lalu mengambil tisu. Entah mengapa rasanya ketika mendengar Afa tadi, dia merasa sesuatu yang buruk akan menimpannya kali ini. Sesuatu yang buruk, tak bisa ia selesaikan, dan menyakitkan.
“Tunggu dulu. Kenapa harus buru-buru?” Nia mencoba untuk terdengar seperti biasanya.
“Sebentar lagi dia kelas 3. Bentar lagi dia lulus. Aku nggak mau kalau terus-terusan kayak gini.” Terang Afa, sambil mengaduk-aduk minumannya. Menatap Nia.
“Mmm. Aku belum pernah ditembak sama cowok sih, jadi mungkin aku nggak banyak membantu. Tapi aku usahakan bisa.” Kata Nia, sambil tersenyum meyakinkan ke arah Afa.
“Karena itu aku memanggilmu kesini. Aku butuh saranmu. Setahuku kamu suka buat cerpen-cerpen romance.”
“Haha” Nia tertawa.
“Kenapa?” tanya Afa.
“Cerpen? Iya sih emang, tapi semua cerpen romance yang kubuat. Semuanya sad ending tau.”
Afa hanya tercengang.
“Yaa, aku hanya mengambil sisi lain dari kebanyakan cerita romance. Tapi btw, aku tetep suka cerita romance kok.”
“Jadi gimana menurutmu?”
“Mm” Nia memegang dagunya dan tengah berpikir.
“Menurutku, kau harus tahu dulu apa yang dia suka. Terus dia tipikal orang yang bertele-tele apa yang suka terus terang. Kau harus tahu semua itu.”
“Setahuku dia tipikal orang yang terus terang.”
“Kalo gitu langsung ngomong aja ke dia.”
“Kurang berkesan lah kalo Cuma kayak gitu.”
“Ya udah kalo menurutku,”
***
            “Udah selesai belum tugasnya?”
            “Oh OK aku ke sana sekarang.” Mengakhiri percakapan dengan temannya di ponselnya.
Nia lalu kembali ke rumah temannya untuk kembali mengerjakan tugas kelompok mereka yang belum selesai. Sebenarnya ia hanya ingin menenangkan diri.
“Ngapain aja tadi? Kok cepet banget.” Tanya Tari ketika Nia sudah sampai di rumah Risa.
“Hanya masalah kecil kok.”
“Temen akrab banget?” tanya Ama.
“Nggak kok Cuma akrab biasa.”
***
            Weker membangunkannya di pagi hari. Dengan mata tertutup dan tubuh masih terselimut mimpi ia mencoba untuk menggapai weker yang berada di samping tempat tidurnya.
            Jam menunjukkan pukul 5 pagi, ia bergegas mengambil air wudhu dan bersiap sekolah. Ia melirik kalender marchandise OOR miliknya. Tepat hari ini, ada sebuah lingkaran merah melingkari tanggalnya. Dan sebuah note kecil yang sengaja ia tempelkan di dekat tanggal tersebut.
            Happy for him.
            “Happy For him.” Ucapnya sebelum ia berangkat sekolah.
***
            Nia memeriksa ponselnya ketika bergetar, menandakkan pesan masuk dari Afa. Perpustakaan. Itu isyarat bagi Nia, untuk menemui Afa saat jam istirahat.
            “Hei Nia. Jangan main ponsel. Kau sedang di awasi tahu.” Ujar Nana mengingatkan Nia.
            Nia lalu meletakkan kembali ponselnya, dan kembali fokus dengan pelajaran yang sedang dia terima.
            “Maaf.”
            “Dari dia?” tanya Nana.
            Nia hanya mengangguk. “Na, nanti aku nggak bisa ke kantin.”
            “Hm oke. Nanti ceritakan semuanya padaku. Kau aneh hari ini.”
            “Tentunya.”
            Saat bel istirahat berbunyi, Nia langsung menuju ke perpustakaan. Dan mencari-cari. Perpustakaan ini memiliki sebuah ruang petugas di sebelah kiri pintu masuk, sofa yang berjarak hanya beberapa langkah dari pintu masuk. Di dekatnya terdapat 2 baris kursi dan meja yang di tata saling berhadapan dengan meja tersebut terdapat kayu sebagai pembatas kanan kiri dan depan meja satu dengan lainnya.
            Terdapat ruang baca, yang berada di belakang ruangan ini, dan juga terdapat beberapa rak buku layaknya perpustakan biasanya di samping ruangan ini.
            Ketemu. Afa sedang berdiri di antara rak-rak buku sastra. Nia menghampiri Afa. “Afa.” Panggilnya lirih.
            “Akhirnya datang juga.”
            “Nih.” Menyerahkan bingkisan kepada Afa.
            Afa lalu melihat ke dalam bingkisan itu. “Sama kayak yang aku kirim di BBM kok, tenang aja.”
            “Hm, makasih banget ya Nia. Best friend forever.” Ucapnya sambil tersenyum.
            Happy for him. Nia you can do it. “Tentunya. Mm Cuma itu kan? Aku mau langsung balik ke kelas.” Sambil mengacungkan jempol ke belakang bahunya. Tanda ia ingin segera pergi.
            “Tunggu! Satu lagi. Nanti bisa dateng nggak?” ajak Afa kemudian.
            Can you feel what I feel? Tentunya Nia bisa menolaknya, namun dia juga tidak bisa menolaknya. Dia tidak punya alasan apapun, selain berbohong.
            “Entah, tapi aku usahakan. Kalau nggak ada kerja kelompok sih.”
            “Oke aku tunggu nanti.”
            “Mm, ya udah aku balik ke kelas duluan. Bye
            “Makasih Nia.”
            Nia meninggalkan perpustakaan menuju ke kelasnya. Sambil berharap semoga ia sibuk nanti. Semoga ia bisa menyibukkan diri. Semoga ada alasan untuk tidak datang. Alasan agar dia bisa tidak melihat mereka bahagia.
***
            “Nia cerita sama aku! Aneh banget kamu hari ini.”
            “Mmm, aku harus cerita apa?”
            “Cerita mengenai kenapa kamu dari tadi hanya ngaduk-aduk minumanmu. Lihat! Punyaku udah habis dari tadi.”
            “Oh maaf.”
            “Cuma maaf? Ayolah Nia cerita sama aku!” Nia dan Nana kini mereka tengah di kantin sekolah, selepas kembalinya Nia. Ternyata Nana dari tadi sudah menunggu Nana. Tentunya karena ia haus dengan semua jawaban yang akan dilontarkan Nia. Haus akan alasan, mengapa sahabatnya aneh hari ini.
            “Nggak bisa.”
            “Nggak bisa kenapa Nia?”
            “Aku bingung harus ngasih alasan gimana. Aku butuh kertas dan pensil.”
            Nana menghela napas. Ia tahu, sahabatnya ini memang sangat sulit untuk mengungkapkan apa yang dia rasakan. Dan apabila sahabatnya meminta alat tulis, maka artinya masalah yang ia hadapi sungguh berat.
            “Nih, udah aku siapin dari tadi buat jaga-jaga.” Sambil menyodorkan secarik kertas dan sebuah pensil.
            Aku nggak bisa terus kayak gini. Aku tahu itu. Tapi, inilah satu-satunya cara agar aku bisa dekat dengannya.”
            “Kamu diapain lagi sama dia?”
            “Dia mau nembak si kakak kelas.
            “Astaga! Nia, udah waktunya kamu ninggalin dia. Nggak ada lagi yang bisa kamu harapkan dari dia.”
            Nia berhenti menulis. Ia tak kuasa menorehkan karbon itu. Yang bisa ia lakukan hana diam, dan memandangi kertas tersebut. Pikirannya kacau.
            “Nia” panggil halus Nana sambil memegangi bahu kecil Nia. Bahu itu terlihat kecil kurus, dan rapuh. Seakan semua beban dalam hidupnya lah yang menyebabkan bahu itu sangat rapuh.
            “Aku wanita yang kuat.
            “Udah deh Nia, jangan naif. Nggak ada orang yang bilang bahwa dirinya kuat dan pada saat yang sama ia menangis pula.”
            Mendengar perkataan Nana, Nia pun memegang pipinya. “Eh”
            “Di dunia ini laki-laki nggak Cuma dia doang, kan?”
            “Tapi nggak ada laki-laki yang kayak dia di dunia ini. Nggak ada selain dia.
            “Iya, nggak ada lagi laki-laki yang kayak dia di dunia ini. Laki-laki yang Cuma bisa buat cewek kuat kayak kamu nangis.”
            “Tapi seenggakya biarkan aku ngungkapin perasaanku.
            “Kamu masih mau ditolak lagi?”
            “Biarin yang penting aku puas.
            “Kalau itu maumu ya udah ayo bangkit dong, Nia.”
            “Hm. Carikan alasan buatku, agar aku bisa nggak ikut ke acaranya nanti. Buat aku sibuk, Na. Dia ngajakain aku buat ikut kayak jadi saksinya gitu, Na. Buat aku sibuk, Na!”
            “Oke oke Nia.”
***
            Keesokkan harinya, Nia berangkat sekolah seperti biasanya. Tepat di depan gerbang sekolah, ia bertemu dengan Afa. Mereka saling berpapasan, dan mata mereka saling bertemu. Oke, sapa dia Nia. Anggap aja nggak ada yang terjadi.
            “Pagi Fa!”
            “Pagi Nia.” Sahut Afa. Dan merekapun akhirnya berjalan masuk bersama. Hening melanda mereka berdua. Nia, ia ketakutan dengan apa yang akan ia tanyakan. Dia tidak ingin hening seperti ini. Nia tahu, dia yang harus mengawali percakapan tapi ia terlalu takut untuk menerima jawabannya.
            “Nia, kenapa dari kemarin nggak jawab telponku?”
            “Aku sibuk Fa.”
            “Hp” katanya lebih meminta.
            “Buat apa?”
            “Udah kesiniin aja.” Dan Nia menyerahkan handphonenya tersebut ke Afa. Kemudian Afa seperti tengah mengotak-atik sesuatu dengan handphone tersebut.
            “Dengerin aja nanti.” Dan Afa pun pergi menjauh dari Nia.

***
            Memasang earphonenya dan mulai mendengarkan sebuah rekaman. Dan melihat kiriman lainnya
Tell me that you turned down the man
Who asked for your hand
'Cause you're waiting for me
And I know, you're gonna be away a while
But I've got no plans at all to leave

And would you take away my hopes and dreams and just stay with me?

All my senses come to life
While I'm stumbling home as drunk as I
Have ever been and I'll never leave again
'Cause you are the only one
And all my friends have gone to find
Another place to let their hearts collide
Just promise me, you'll always be a friend
'Cause you are the only one
            “Nia kamu kenapa?” tanya salah satu temannya.
            “Eh”
            “Menangis?” tanyanya lagi.
            “Mm?” dia lalu meraba pipinya. Benar dia menangis. Entah kenapa dia harus menangisi orang yang tengah berfoto di sana, dengan seorang wanita cantik yang baru saja ditembaknya.
            Nia yakin dia telah merelakannya, kenapa dia harus menangis untuk orang yang sama sekali tidak menyukainya? Tidak. Afa tidak. Afa menyukai Nia. Afa menyukai Nia sebagai teman.
            Lengkungan manis terpatri diwajah Nia. “Aku lega.” Sejurus kata keluar dari mulutnya. Dia telah lega. Karena Afa mengakuinya sebagai teman. Setidaknya, teman lebih baik. Pikirnya kemudian.

-END-


--------------------------------------------------------------------
Wkwk ini hanya sebuah kisah dimana rasa baperanku muncul kembali
Btw terimakasih yang udah mau membaca 
Wassalamu'alaikum
salam phenanisheila

Cerpen Romance Remaja

Assalamu'alaikum,
Mimin balik lagi nih, kali ini mau post tentang kebaperannya mimin
hue hue, jadi secret admirer emang nggak gampang ya
kali ini mimin mau bagi-bagi rasanya jadi secret admirer lewat cerpen
hope you like it
Happy reading :)
.
.
.
.


DON’T WANNA BE STONE COLD TO ME
‘It’s just another song from me to you’
                Hari ini, adalah hari pagelaran seni vokal. Seluruh anak kelas X, maupun XI memperhatikan kami anak MIPA dan IBB yang akan bernyanyi di aula sekolah. Dan juga dirimu, datang menyaksikanku bernyanyi di sini.
            Aku sudah mempersiapkannya untuk hari ini. Baik dari latihan vokal yang di ajarkan guru musik hingga aku mengikuti les vokal privat di salah satu les musik, berharap kau akan mendengarnya bila suaraku mendukung. Aku gugup tentang ini. Banyak orang yang akan memperhatikanku, dan aku harap kau juga demikian.
            Khusus hari ini, aku berharap kau akan memperhatikanku selama lima menit ini. Aku berharap kau akan mengerti maksud dari lagu yang akan kubawakan ini. Sudah lama aku mempersiapkannya, lagu untuk hari ini.
            Dimana aku berharap lewat lagu ini. Aku berharap kau mengerti maksudku lewat lagu ini.
            Sekarang lihatlah aku yang sudah berada di atas panggung aula ini. Perhatikanlah aku. Ingatlah tentang diriku. Gumamkanlah namaku. Lihatlah ke arahku. Kumohon kembalilah ke waktu itu. Kumohon lewat lagu ini kau akan melakukannya.
            “Perkenalkan nama saya Nia dari kelas X MIPA 2.” Itu namaku, apa kau mengingatnya?
“ Dan lagu yang akan saya bawakan berjudul Stone Cold miliknya Demi Lovato. Hope you enjoy it.” Apa kau mau mendengarkanku walau hanya saat ini?
Stone cold
Stone cold
                Ya, itulah kau yang sekarang. Hanya terlihat seperti batu yang dingin. Dinginnya batu itu menusuk ke jari-jemari siapapun yang memegangnya. Bahkan dinginnya batu itu membuat batu itu sendiri tidak merasakan orang-orang yang mencoba memberinya kehangatan.
You see me standing
But  I’m dying on the floor
            Lihatlah aku berdiri di panggung ini. Aku berdiri di depanmu. Berharap kau melihatku. Melihatku yang terlihat berdiri dengan yakinnya, layaknya aku meresapi lagu ini.
            Tentunya aku terlalu terbawa perasaan karena lagu ini. Lagu ini memang kutujukan kepadamu, Afa.  Orang yang dapat mengalihkan duniaku, memberi warna dunia monokrom ini.
            Sebenarnya aku tak kuasa menyanyikan lagu ini, Afa. Aku yang selalu menyeru-nyeru kan diriku gadis yang kuat, sebenarnya setiap malam sebelum tidur ku selalu menangis memikirkan perubahan sikapmu yang tak kuterima ini.
Stone cold
Stone cold
            Ingatkah ketika kita pernah satu kelas? Ingatkah tempat duduk kita depan belakang? Ingatkah kita sering satu kelompok? Ingatkah kau lah yang membuat anak satu kelas belajar bermain gitar? Ingatkah ketika kau mengijinkanku meminjam gitarmu? Ingatkah ketika kau tersenyum senang kepadaku ketika memainkan pianika saat seni musik, dulu? Ingatkah ketika kau pernah menyebut dan mengingat namaku?
Maybe if  I don’t cry
I wont feel anymore
            Aku harap kau mengingatnya, Afa. Hanya air mata, dan rasa sakit di dadaku ketika aku mengetahui kau ternyata menyukai orang lain, dan kau mulai berubah semenjak kita tidak satu kelas lagi. Aku harap kau mengingatku, Afa. Sehingga tangisanku hanya akan menjadi sebuah kesalahpahaman.
Stone cold, baby
            Hei, batu yang dingin. Kenapa kau menolak kehangatan dariku? Hei, batu yang dingin. Mau sampai kapan kau akan tetap menjadi batu yang dingin? Hei batu yang dingin. Kami mulai kedinginan karenamu.
God knows I tried to feel
Happy for you
Know that I am
Even if I can’t understand
            Tak apa jika kau menyukai gadis lain. Jika gadis itu bisa membuatmu bahagia. Tuhan tahu, Tuhan Maha Tahu. Tuhan tahu, aku mencoba untuk ikut tersenyum dan mendoakan kalian. Tuhan tahu aku telah mencobanya. Walaupun aku tidak bisa memahami, kenapa aku mencoba bahagia ketika aku tersakiti?
I’ll take the pain
Give me the truth
            Aku hanya merasakan rasa sakit ini, ketika kau tidak kembali ke waktu itu dan mengatakan yang sebenarnya kepadaku. Dan pada saat itu pula aku akan mengatakannya kepadamu, bahwa selama ini aku menyukaimu dalam diam. Dalam diam, menunggu saat yang tepat dimana aku bisa mengatakannya, bila kau bisa seperti yang dulu.
Me and my heart
We’ll make it through
If happy is her
I’m happy for you
            Aku akan mengikhlaskannya, tulus dari hatiku yang tersakiti. Aku akan turut berbahagia. Jika kau bahagia bersamanya. Karena aku bahagia jika melihatmu bahagia.
Hmmm

Stone cold
Stone cold
You’re dancing with her
While I’m staring at my phone
            Hei Afa sang batu dingin. Apa kesibukanmu sekarang? Apakah kau memang sangat menyukai basket? Ini sangat menyenangkan ketika melihatmu bertanding. Kau terlihat bahagia dan menikmati basket hingga kau tidak lagi melihat notifikasi di handphone-mu. Atau apakah terlalu banyak orang yang meng-chat mu hingga kau tidak melihat chat dariku? Atau apakah chat-ku hanya menggangu untukmu hingga menurutmu kau harus mengabaikannya? Maafkan aku bila memang. Aku hanya ingin mencoba kembali seperti dulu, ketika kita masih bisa mengobrol. Aku harap setidaknya kau membacanya.

Stone cold
Stone cold
I was you amber
But now she’s your shade of  gold
            Hei Afa sang batu dingin. Sebetulnya kau dulu menganggapku sebagai apa? Aku berharap aku dapat menjadi temanmu. Walau banyak kekurangan dariku, aku memang tidak bisa seperti gadis yang kau sukai. Itu karena seleramu yang benar-benar bagus dan memang layak gadis itu disukai banyak orang. Aku hanyalah Nia, seorang yang diam-diam menyukaimu dan takut untuk mengatakannya kepadamu.
Stone cold, baby
God knows I tried to feel
Happy for you
Know that I am
Even if I can’t understand
            Hei, Afa sang batu dingin. Tuhan tahu aku telah mencoba untuk menerimanya. Aku menerimanya kau bersama dia. Walaupun sebenarnya hanya sesak yang kurasa jika mulai memikirkannya.
I’ll take the pain
Give me the truth
            Disini aku hanya menerima rasa sakitnya. Berikan aku kepastian Afa. Kumohon ceritakan semua yang kau mau, dan kembalilah ke masa kala itu. Tersenyum, ku ingin melihat senyuman itu.
Me and my heart
We’ll make it through
If happy is her
I’m happy for you
            Dengan begitu, kami bisa menerimanya. Mungkin aku tidak akan merasakan sesaknya lagi. Karena aku tahu benar, kalau gadis itu adalah kebahagian untukmu. Dan setelahnya aku akan dapat kembali tersenyum untuk kalian.
Don’t wanna be stone cold, stone
            Hei Afa sang batu dingin. Janganlah menjadi batu yang dingin seperti ini. Tataplah aku ketika kita bertemu. Sapalah aku ketika kita berpapasan. Berikan senyummu, ketika aku memanggil namamu. Panggillah namaku layaknya dulu. Hentikan laju rodamu ketika kau melihatku berjalan sendiri. Duduklah di sampingku, dan ceritakan semua yang kau ingin. Aku berharap setidaknya anggaplah aku menjadi temanmu. Terimalah kehangatan yang kuberikan ini.
I wish I could mend this
But here’s my goodbye
            Hmm, semua itu hanyalah harapan yang terlalu tinggi. Aku tahu aku terlalu berandai. Aku tahu aku orang yang menyebalkan. Aku berharap rasa sakit ini dapat ku obati, aku berharap kita dapat dekat layaknya dulu lagi. Tapi, lewat lagu ini kata perpisahanku terucap. Aku menyerah.
Oh, I’m happy for you
Know that I am
Even if I can’t understand
            Aku bahagia jika kau masih mengingatku, walaupun setelah semua yang kau perbuat. Semua kedinginan yang pernah menyergap hati ini. Bahkan walau aku tahu, aku bahagia walaupun aku pernah disakiti olehmu.
If happy is her
If happy is her
I’m happy for you
            Teruslah kejar kebahagianmu. Jika memang benar dia bisa membuatmu bahagia, membuatmu dapat tersenyum walaupun sebagai Afa yang tidak aku kenal. Aku bahagia untukmu.
            Dan sekarang kulihat dirimu tengah memperhatikanku. Aku sangat bahagia untuk ini.
            Tak terasa, laguku telah selesai. Tak terasa tanganku mulai gemetar menurunkan mice. Aku menundukkan kepalaku memegang pipiku. Mencoba untuk menghapusnya.
            Apa ini? Basah? Aku buru-buru menaikkan mice ku lagi. “Terimakasih.” Lanjutku yang terdengar bergetar saat berucap. Dan aku membungkukkan badan meninggalkan panggung menuju ke kamar mandi, walau aku tahu banyak pasang mata yang memperhatikanku.
            “Mau aku temani?” tawar salah satu sahabat karibku.
            “Mm, tidak usah.” Tolakku seraya menggelengkan kepala dan menuju kamar mandi.
            Walau sudah tidak terlihat basah di kedua pipi, namun aku yakin mataku terlihat sembab. Aku harus cepat-cepat membasahinya dengan air.
            “Nia!” suara baritone yang kukenal ini, menghentikkan langkahku yang berjarak hanya beberapa meter lagi ke kamar mandi. Aku tidak berani memperlihatkan wajahku, karena aku tidak mau terlihat jelek di depannya, dan terlihat lemah.
            “Kau hebat.
            “Aku tahu, jika tadi di akhir lagu kau melihat ke arahku. Tidak hanya itu, bahkan di awal lagupun ketika perkenalan.
            “Jadi, lagu itu untukku.
            “Maafkan aku, untuk sikapku yang keterlaluan.
            “I will give you the truth. Maafkan aku, sebenarnya, aku sedang menyukai seseorang. Dan terimakasih untuk semua perhatian yang kau berikan.
            “Aku minta maaf. Dan sebagai permintaan maaf nya...,
            “Tetaplah jadi temanku. Sapalah aku, dan aku akan menyapa balik. Tersenyumlah kepadaku dan aku akan tersenyum kembali. Maaf aku tidak membalas pesan-pesanmu. Dan juga..., karena kau anak MIPA ajari aku Matematika dan Fisika. Aku akan mengajarimu Sejarah dan Ekonomi. Yah, walaupun aku juga tidak terlalu pintar.
            “Aku harap, kita bisa selalu belajar kelompok. Aku harap kita bisa selalu bersama menjadi sepasang teman dekat. Aku berharap kau masih mau berteman denganku. Karena aku benar-benar menginginkan seorang sepertimu menjadi temanku.
            Aku membalikkan badanku ke arahnya, kepalaku yang tadinya tertunduk aku mantapkan untuk menatap mata coklatnya itu.
           “Kau yakin benar-benar menginginkanku jadi temanmu dengan tulus? Atau hanya karena butuh aja?”
            “Eee,, mmm,, itu tentu saja—”
            “Ahahaha...Ahahaha...Ahahaha. Bercanda Afa, terkadang aku juga begitu kok.”
            Aku melihatnya tersenyum lagi layaknya dulu, dengan logatnya yang selalu mengggaruk tengkuknya yang tidak gatal ketika salah tingkah.
            “Jadi?” tanyanya kemudian.
            “Teman.” Kataku sambil mengajukan jari kelingkingku. Janji jari kelingking.
            “Teman.” Dan dia membalasnya. Dengan senyumannya. Namun, senyum itu entah kenapa terasa berbeda. Aku hanya dapat bertanya-tanya, apakah dia pernah tersenyum seperti itu sebelumnya? Atau memang dia sering tersenyum seperti ini kepada teman-temannya? Ataukah, ini memang hanya untukku?
            .
            .
Afa, aku benar-benar bahagia untukmu jika aku bisa melihatmu tersenyum.
Afa, aku bahagia jika kau bisa memberikan senyumanmu ini kepada orang yang kau sayangi.
Orang yang bisa membuatmu tersenyum lebih tulus dari ini.
Dan Afa, aku tantang kau siapa diantara kita yang bisa membuat yang lain lebih bahagia?
Apakah aku?
Ataukah kau?
.
.

END
----------------------------------------------------------------------
Gimana gimana ?
Ya gitulah ya min hehe
udah cukup sekian aja disambungnya kapan-kapan
Wassalamu'alaikum,
salam phenanisheila

Kamis, 07 April 2016

Fanfic SasuSaku

Photograph

Naruto belongs to Masashi Kishimoto
Pairing Sasuke Sakura
CANON
Don’t like Don’t read
.
.
.
.

Loving can hurt
Loving can hurt sometimes
But it's the only thing
That I know

And when it gets hard
You know it can get hard sometimes
It is the only thing that makes us feel alive

Yang aneh itu hubungan Ibu dengan Ayah!” kata-kata Sarada selalu terngiang-giang dikepala Sakura. “Sasuke-kun...” katanya lirih memanggil orang yang sangat ia rindukan. “Apa yang harus aku katakan...”
                Keadaan Sakura sekarang sudah membaik dari pingsannya waktu itu. Ia lalu meninggalkan ruangan tempat ia dirawat. sekarang ia sedang meuju ke rumahnya yang hancur akibat ulahnya. Ia berharap masih ada barang yang bisa ia selamatkan.
                Sakura berjalan agak gontai menuju rumahnya. Sesampainya disana ia mencoba mencari dengan teliti barang-barang yeng tertimbun reruntuhan rumah. Ia menemukan sesuatu. Sesuatu itu adalah foto timnya, tim 7. Foto penuh kenangan.
                Sakura pun mengambilnya. Terlihat sekarang matanya mulai memuntahkan cairan bening. “Sasuke-ku...hiks...hiks...” sekarang ia menangis. Ia tidak tahu harus berapa lama lagi menunggu suaminya itu. Tidak, bukan hanya dia saja, Sarada putrinya dengan Sasuke juga menunggu kepulangan kepala keluarga kecil ini.

We keep this love in a photograph
We made these memories for ourselves
Where our eyes are never closing
Hearts are never broken
And times are forever frozen still

So you can keep me
Inside the pocket
Of your ripped jeans
Holdin' me closer
Til our eyes meet
You won't ever be alone
Wait for me to come home

                Sakura sebetulnya bisa saja marah dengan Sasuke karena ulahnya selama ini. Meninggalkannya, mencoba membunuhnya. Semua itu pernah dilakukan oleh Sasuke sendiri. Namun yang namanya kekuatan cinta, kekuatan sayang, maka semuanya terasa bukan apa-apa bagi orang yang sudah terlanjur termakan kekuatan itu. Sakura selalu saja mencintai Sasuke, selalu saja menunggunya.
Loving can heal
Loving can mend your soul
And is the only thing
That I know (know)
I swear it will get easier
Remember that with every piece of ya
And it's the only thing we take with us when we die

We keep this love in a photograph
We make these memories for ourselves
Where our eyes are never closing
Our hearts were never broken
And times forever frozen still
So you can keep me
Inside the pocket
Of your ripped jeans
Holdin' me closer
Till our eyes meet
You won't ever be alone

                Di tempat lain, Sasuke sedang beristirahat karena kelelahan. Sasuke sedang duduk termangu memandangi langit cerah di bawah pohon yang rindang. Tiba-tiba Sasuke cegukan. Ia lalu teringat kata-kata Kaa-sannya waktu dulu ia masih kecil.
                “Bu, kenapa cegukan ini tidak hilang-hilang, sih? Rasanya tidak enak sekali, mengganggu.” Keluh Sasuke kecil kepada Ibunda tercintanya. “Tenang saja Sasu-chan. Itu berarti tandanya sedang ada yang memikirkanmu.”
                Sasuke teringat kata-kata itu dan segera menepis pikiran kekanakkannya. Mana mungkin, pikirnya. Lalu Sasuke segera ingin meminum botol berisi air mineral yang ia bawa ditas ranselnya. Namun bukannya mengambil botol mineral, ia malah mengambil secarik foto. Foto tim 7. Ia, Kakashi, Naruto, dan Sakura.
                “Sakura.” Ia memikirkan bagaimana keadaan istrinya saat ini. Ia merasa bersalah karena meninggalkannya dalam kurun waktu yang lama.
FLASHBACK ON.
                “Kamu akan pergi lagi?” tanya Sakura. Dua tahun meninggalkan Sakura setelah PDS4, Sasuke akan pergi meninggalkan desa kembali seminggu setelah pernikahannya dengan Sakura.
                “Hn. Demi menebus dosa-dosaku.” Sakura dan Sasuke sekarang sedang berada di dalam rumah baru mereka. “Kumohon bersabarlah.” Pinta Sasuke kepada Sakura.
                “Baiklah aku akan berusaha.” Kata Sakura lirih sambil menunduk. Sasuke lalu mengambil foto tim 7 yang memang sengaja ditaruh dibupet ruang tamu.
                “Sakura, jika kau merindukanku. Lihatlah foto ini, banyak kenangan dalam foto ini. Kau tidak akan pernah kesepian. Karena semua kenangan itu akan menghiburmu. Aku akan selalu menjagamu lewat foto itu. Tunggulah kepulanganku.” Itulah kata-kata terakhir Sasuke sebelum ia meninggalkan Sakura.
And if you hurt me
Well that's ok baby only words bleed
Inside these pages you just hold me
And I won't ever let you go

Wait for me to come home
Wait for me to come home
Wait for me to come home
Wait for me to come home

FLASHBACK OFF and SASUKE POV ON
                Sakura tak apa jika kau marah kepadaku. Aku tidak akan pernah membiarkanmu pergi dari kehidupanku. Dalam perjalanan aku selalu mengingat pelukanmu saat aku meninggalkan desa untuk pertama kalinya. Dibawah sinar bulan, aku mendengarkan permintaanmu. Terimakasih Sakura.

Oh you can fit me
Inside the necklace you got when you were 16
Next to your heartbeat
Where I should be
Keep it deep within your soul

And if you hurt me
Well that's ok baby only words bleed
Inside these pages you just hold me
And I won't ever let you go

When I'm away
I will remember how you kissed me
Under the lamppost
Back on 6th street
Hearing you whisper through the phone

                “Sakura, tunggulah kepulanganku.”

Wait for me to come home
~OWARI~
----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Mmmm, balik lagi nih. Mumpung lagi ada koneksi hehe.
KAli ini FFn,,, SasuSaku tapi,,, ini sebenarnya fic pertama tapi belum aku publish di blog. Mumpung lagi ada kesempatan ya udah lah lanjut aja
Sekian chit chat dari mimin
Ja mata di next posting
Thanks for reading ^^

Hanya sebuah kisah

DON’T WANNA BE STONE COLD TO ME
‘It’s just another song from me to you’
                Hari ini, adalah hari pagelaran seni vokal. Seluruh anak kelas X, maupun XI memperhatikan kami anak MIPA dan IBB yang akan bernyanyi di aula sekolah. Dan juga dirimu, datang menyaksikanku bernyanyi di sini.
            Aku sudah mempersiapkannya untuk hari ini. Baik dari latihan vokal yang di ajarkan guru musik hingga aku mengikuti les vokal privat di salah satu les musik, berharap kau akan mendengarnya bila suaraku mendukung. Aku gugup tentang ini. Banyak orang yang akan memperhatikanku, dan aku harap kau juga demikian.
            Khusus hari ini, aku berharap kau akan memperhatikanku selama lima menit ini. Aku berharap kau akan mengerti maksud dari lagu yang akan kubawakan ini. Sudah lama aku mempersiapkannya, lagu untuk hari ini.
            Dimana aku berharap lewat lagu ini. Aku berharap kau mengerti maksudku lewat lagu ini.
            Sekarang lihatlah aku yang sudah berada di atas panggung aula ini. Perhatikanlah aku. Ingatlah tentang diriku. Gumamkanlah namaku. Lihatlah ke arahku. Kumohon kembalilah ke waktu itu. Kumohon lewat lagu ini kau akan melakukannya.
            “Perkenalkan nama saya Nia dari kelas X MIPA 2.” Itu namaku, apa kau mengingatnya?
“ Dan lagu yang akan saya bawakan berjudul Stone Cold miliknya Demi Lovato. Hope you enjoy it.” Apa kau mau mendengarkanku walau hanya saat ini?
Stone cold
Stone cold
                Ya, itulah kau yang sekarang. Hanya terlihat seperti batu yang dingin. Dinginnya batu itu menusuk ke jari-jemari siapapun yang memegangnya. Bahkan dinginnya batu itu membuat batu itu sendiri tidak merasakan orang-orang yang mencoba memberinya kehangatan.
You see me standing
But  I’m dying on the floor
            Lihatlah aku berdiri di panggung ini. Aku berdiri di depanmu. Berharap kau melihatku. Melihatku yang terlihat berdiri dengan yakinnya, layaknya aku meresapi lagu ini.
            Tentunya aku terlalu terbawa perasaan karena lagu ini. Lagu ini memang kutujukan kepadamu, Afa.  Orang yang dapat mengalihkan duniaku, memberi warna dunia monokrom ini.
            Sebenarnya aku tak kuasa menyanyikan lagu ini, Afa. Aku yang selalu menyeru-nyeru kan diriku gadis yang kuat, sebenarnya setiap malam sebelum tidur ku selalu menangis memikirkan perubahan sikapmu yang tak kuterima ini.
Stone cold
Stone cold
            Ingatkah ketika kita pernah satu kelas? Ingatkah tempat duduk kita depan belakang? Ingatkah kita sering satu kelompok? Ingatkah kau lah yang membuat anak satu kelas belajar bermain gitar? Ingatkah ketika kau mengijinkanku meminjam gitarmu? Ingatkah ketika kau tersenyum senang kepadaku ketika memainkan pianika saat seni musik, dulu? Ingatkah ketika kau pernah menyebut dan mengingat namaku?
Maybe if  I don’t cry
I wont feel anymore
            Aku harap kau mengingatnya, Afa. Hanya air mata, dan rasa sakit di dadaku ketika aku mengetahui kau ternyata menyukai orang lain, dan kau mulai berubah semenjak kita tidak satu kelas lagi. Aku harap kau mengingatku, Afa. Sehingga tangisanku hanya akan menjadi sebuah kesalahpahaman.
Stone cold, baby
            Hei, batu yang dingin. Kenapa kau menolak kehangatan dariku? Hei, batu yang dingin. Mau sampai kapan kau akan tetap menjadi batu yang dingin? Hei batu yang dingin. Kami mulai kedinginan karenamu.
God knows I tried to feel
Happy for you
Know that I am
Even if I can’t understand
            Tak apa jika kau menyukai gadis lain. Jika gadis itu bisa membuatmu bahagia. Tuhan tahu, Tuhan Maha Tahu. Tuhan tahu, aku mencoba untuk ikut tersenyum dan mendoakan kalian. Tuhan tahu aku telah mencobanya. Walaupun aku tidak bisa memahami, kenapa aku mencoba bahagia ketika aku tersakiti?
I’ll take the pain
Give me the truth
            Aku hanya merasakan rasa sakit ini, ketika kau tidak kembali ke waktu itu dan mengatakan yang sebenarnya kepadaku. Dan pada saat itu pula aku akan mengatakannya kepadamu, bahwa selama ini aku menyukaimu dalam diam. Dalam diam, menunggu saat yang tepat dimana aku bisa mengatakannya, bila kau bisa seperti yang dulu.
Me and my heart
We’ll make it through
If happy is her
I’m happy for you
            Aku akan mengikhlaskannya, tulus dari hatiku yang tersakiti. Aku akan turut berbahagia. Jika kau bahagia bersamanya. Karena aku bahagia jika melihatmu bahagia.
Hmmm

Stone cold
Stone cold
You’re dancing with her
While I’m staring at my phone
            Hei Afa sang batu dingin. Apa kesibukanmu sekarang? Apakah kau memang sangat menyukai basket? Ini sangat menyenangkan ketika melihatmu bertanding. Kau terlihat bahagia dan menikmati basket hingga kau tidak lagi melihat notifikasi di handphone-mu. Atau apakah terlalu banyak orang yang meng-chat mu hingga kau tidak melihat chat dariku? Atau apakah chat-ku hanya menggangu untukmu hingga menurutmu kau harus mengabaikannya? Maafkan aku bila memang. Aku hanya ingin mencoba kembali seperti dulu, ketika kita masih bisa mengobrol. Aku harap setidaknya kau membacanya.

Stone cold
Stone cold
I was you amber
But now she’s your shade of  gold
            Hei Afa sang batu dingin. Sebetulnya kau dulu menganggapku sebagai apa? Aku berharap aku dapat menjadi temanmu. Walau banyak kekurangan dariku, aku memang tidak bisa seperti gadis yang kau sukai. Itu karena seleramu yang benar-benar bagus dan memang layak gadis itu disukai banyak orang. Aku hanyalah Nia, seorang yang diam-diam menyukaimu dan takut untuk mengatakannya kepadamu.
Stone cold, baby
God knows I tried to feel
Happy for you
Know that I am
Even if I can’t understand
            Hei, Afa sang batu dingin. Tuhan tahu aku telah mencoba untuk menerimanya. Aku menerimanya kau bersama dia. Walaupun sebenarnya hanya sesak yang kurasa jika mulai memikirkannya.
I’ll take the pain
Give me the truth
            Disini aku hanya menerima rasa sakitnya. Berikan aku kepastian Afa. Kumohon ceritakan semua yang kau mau, dan kembalilah ke masa kala itu. Tersenyum, ku ingin melihat senyuman itu.
Me and my heart
We’ll make it through
If happy is her
I’m happy for you
            Dengan begitu, kami bisa menerimanya. Mungkin aku tidak akan merasakan sesaknya lagi. Karena aku tahu benar, kalau gadis itu adalah kebahagian untukmu. Dan setelahnya aku akan dapat kembali tersenyum untuk kalian.
Don’t wanna be stone cold, stone
            Hei Afa sang batu dingin. Janganlah menjadi batu yang dingin seperti ini. Tataplah aku ketika kita bertemu. Sapalah aku ketika kita berpapasan. Berikan senyummu, ketika aku memanggil namamu. Panggillah namaku layaknya dulu. Hentikan laju rodamu ketika kau melihatku berjalan sendiri. Duduklah di sampingku, dan ceritakan semua yang kau ingin. Aku berharap setidaknya anggaplah aku menjadi temanmu. Terimalah kehangatan yang kuberikan ini.
I wish I could mend this
But here’s my goodbye
            Hmm, semua itu hanyalah harapan yang terlalu tinggi. Aku tahu aku terlalu berandai. Aku tahu aku orang yang menyebalkan. Aku berharap rasa sakit ini dapat ku obati, aku berharap kita dapat dekat layaknya dulu lagi. Tapi, lewat lagu ini kata perpisahanku terucap. Aku menyerah.
Oh, I’m happy for you
Know that I am
Even if I can’t understand
            Aku bahagia jika kau masih mengingatku, walaupun setelah semua yang kau perbuat. Semua kedinginan yang pernah menyergap hati ini. Bahkan walau aku tahu, aku bahagia walaupun aku pernah disakiti olehmu.
If happy is her
If happy is her
I’m happy for you
            Teruslah kejar kebahagianmu. Jika memang benar dia bisa membuatmu bahagia, membuatmu dapat tersenyum walaupun sebagai Afa yang tidak aku kenal. Aku bahagia untukmu.
            Dan sekarang kulihat dirimu tengah memperhatikanku. Aku sangat bahagia untuk ini.
            Tak terasa, laguku telah selesai. Tak terasa tanganku mulai gemetar menurunkan mice. Aku menundukkan kepalaku memegang pipiku. Mencoba untuk menghapusnya.
            Apa ini? Basah? Aku buru-buru menaikkan mice ku lagi. “Terimakasih.” Lanjutku yang terdengar bergetar saat berucap. Dan aku membungkukkan badan meninggalkan panggung menuju ke kamar mandi, walau aku tahu banyak pasang mata yang memperhatikanku.
            “Mau aku temani?” tawar salah satu sahabat karibku.
            “Mm, tidak usah.” Tolakku seraya menggelengkan kepala dan menuju kamar mandi.
            Walau sudah tidak terlihat basah di kedua pipi, namun aku yakin mataku terlihat sembab. Aku harus cepat-cepat membasahinya dengan air.
            “Nia!” suara baritone yang kukenal ini, menghentikkan langkahku yang berjarak hanya beberapa meter lagi ke kamar mandi. Aku tidak berani memperlihatkan wajahku, karena aku tidak mau terlihat jelek di depannya, dan terlihat lemah.
            “Kau hebat.
            “Aku tahu, jika tadi di akhir lagu kau melihat ke arahku. Tidak hanya itu, bahkan di awal lagupun ketika perkenalan.
            “Jadi, lagu itu untukku.
            “Maafkan aku, untuk sikapku yang keterlaluan.
            “I will give you the truth. Maafkan aku, sebenarnya, aku sedang menyukai seseorang. Dan terimakasih untuk semua perhatian yang kau berikan.
            “Aku minta maaf. Dan sebagai permintaan maaf nya...,
            “Teteaplah jadi temanku. Sapalah aku, dan aku akan menyapa balik. Tersenyumlah kepadamu dan aku akan tersenyum kembali. Maaf aku tidak membalas pesan-pesanmu. Dan juga..., karena kau anak MIPA ajari aku Matematika dan Fisika. Aku akan mengajarimu Sejarah dan Ekonomi. Yah, walaupun aku juga tidak terlalu pintar.
            “Aku harap, kita bisa selalu belajar keolmpok. Aku harap kita bisa selalu bersama menjadi sepasang teman dekat. Aku berharap kau masih mau berteman denganku. Karena aku benar-benar menginginkan seorang sepertimu menjadi temanku.
            Aku membalikkan badanku ke arahnya, kepalaku yang tadinya tertunduk aku mantapkan untuk menatap mata coklatnya itu.
           “Kau yakin benar-benar menginginkanku jadi temanmu dengan tulus? Atau hanya karena butuh aja?”
            “Eee,, mmm,, itu tentu saja—”
            “Ahahaha...Ahahaha...Ahahaha. Bercanda Afa, terkadang aku juga begitu kok.”
            Aku melihatnya tersenyum lagi layaknya dulu, dengan logatnya yang selalu mengggaruk tengkuknya yang tidak gatal ketika salah tingkah.
            “Jadi?” tanyanya kemudian.
            “Teman.” Kataku sambil mengajukan jari kelingkingku. Janji jari kelingking.
            “Teman.” Dan dia membalasnya. Dengan senyumannya. Namun, senyum itu entah kenapa terasa berbeda. Aku hanya dapat bertanya-tanya, apakah dia pernah tersenyum seperti itu sebelumnya? Atau memang dia sering tersenyum seperti ini kepada teman-temannya? Ataukah, ini memang hanya untukku?
            .
            .
Afa, aku benar-benar bahagia untukmu jika aku bisa melihatmu tersenyum.
Afa, aku bahagia jika kau bisa memberikan senyumanmu ini kepada orang yang kau sayangi.
Orang yang bisa membuatmu tersenyum lebih tulus dari ini.
Dan Afa, aku tantang kau siapa diantara kita yang bisa membuat yang lain lebih bahagia?
Apakah aku?
Ataukah kau?
.
.

END
---------------------------------------------------------------------
hai hai mimin balik lagi nih,,, kali ini buat cerpen lagi. Tapi sayangnya genrenya romance. Cuma sekedar refreshing aja,,, eh nggak kok ini gegara baper denger lagu Stone Cold nya si Demi Lovato. #thanxDemi
Mmmm,,, ini juga sebenarnya curhatan juga sih sama si doi...,,, hahaha semoga si doi baca,,,,(berharap)
Sekian chit chati dari mimin, makasih yang udah mau baca
Jaa mata ne~ di next posting