Assalamu'alaikum,
Hai hai berjumpa lagi setelah skian lama hiatus
kali ini mimin mau pos cerita lagi, sekuel dari Stone cold
mmmm, apa lagi ya, ya pokoknya gitulah
selamat membaca
THE ONLY ONE
“Thank you for everything,
you have given to me, My Friend.”
“Nia,” panggil seorang dengan suara baritone yang terdengar sengau miliknya di seberang telepon.
“Iya.” Sahut Nia, seorang gadis
berjilbab berumur 15 tahun itu kepada lawan bicaranya di seberang sambungan.
“Ini aku Afa.”
“Tentu saja aku tahu. Ada apa
denganmu? Kau sakit? Suaramu terdengar beda.”
Nia seorang gadis yang sekarang
berada di tahun kedua SMA. Dia gadis yang berteman dengan seorang lelaki yang
bernama Afa. Mereka sudah berteman selama 3 bulan. Tapi bila mengingat masa
lalu mereka, maka mereka sudah terhitung berteman 1 tahun 3 bulan. Afa juga
berada di tahun kedua namun ia memilih jurusan yang berbeda dengan Nia.
“Kau sedang sibuk?” tanya Afa. Nia
lalu melirik jam tangan yang bertengger di pergelangan tangan kirinya yang
kurus itu. Waktu menunjukkan pukul 10.00 pagi di hari Sabtu. Hari ini dia
sedang berada di rumah temannya, mengerjakan tugas. Bila dihitung, dia sudah
disini selama 2 jam tentunya juga mereka sudah memulai kegiatan mereka.
“Aku sedang berada di rumah teman.
Tapi sebentar aku tanya du—”
“Kalau memang sedang sibuk, tidak
u—” mereka saling memotong kalimat.
“Hei, Afa. Kau sudah lama
mengenalku, bukan? Kau tahu aku keras kepala, kan?” aku Nia kepada Afa.
“Nia—”
“Aku akan kesana. Sekarang kamu
dimana?”
Terdengar Afa menghela napasnya di
seberang telepon. “Memang keras kepala.” Lanjutnya kemudian.
“Makanya jawab pertanyaanku, Afa!”
perintah Nia. Ia tidak sadar kalau sekarang ini dia sedang berada di beranda
rumah temannya, berada di kompleks perumahan.
“Baiklah. Temui aku di cafe kesukaanku. Cepat.” Perintah Afa
kemudian.
“Cafe
yang di dekat rumahmu?” tanya Nia belum mengerti.
“Tentu saja.”
“Oke. Diam dan duduk manis di sana.
Aku naik angkot dan kemungkinan lama.”
“Usahakan cepat.” Afa lalu menutup
teleponnya. Begitupula Nia. Dia lalu melangkah masuk ke dalam rumah.
“Dasar orang itu.” Cercanya
kemudian.
“Ada apa? Kayaknya asyik banget
topiknya.” Sindir si pemilik rumah.
“Maaf, aku cuma kaget aja tadi. Eh
ngomong-ngomong Risa, aku ada keperluan mendadak nih. Di sini tapi belum
selesai, gimana nih?” tanya Nia ke Risa dengan nada memelas, dan jangan lupa
muka memelasnya.
“Keperluan apa?” tanya Risa dengan
penuh nada interogasi miliknya.
“Ya pokoknya keperluan yang nggak
bisa diganggu. Nanti aku kesini lagi kalau kalian belum selesai. Lagipula, tadi
aku sudah nyumbang buat lagunya, kan?” aku Nia mencari-cari bahan permohonan.
“Yee, kan cuma lagunya.” Sergah
Risa. “Dan juga alasanmu kurang meyakinkan.” Lanjutnya kemudian.
“Udah lah, ijinin aja dia. Kemarin
aku juga ijin kan? Biar adil gitu.” Bela Tari yang juga jadi salah satu anggota
kelompoknya, semua anggota kelompok yang gender
nya perempuan semuanya memakai jilbab di kelas Nia.
Risa menghela napas pasrahnya.
“Baiklah tapi nanti balik lagi kesini.” Ucapnya kemudian.
Nia yang mendengar hal ini langsung
kegirangan dan menyahut, “Iya Risa. Nanti aku bakalan balik kesini kalau kalian
belum selesai. Mm,” dia menoleh ke arah Ama.
“Ama, kamu bosen kan disini?
Daripada mati kebosanan di sini, mending cari angin yuk! Anterin aku ke depan
SMA, cari angkot.” Pinta Nia ke Ama.
“Kok angkot? Nggak di jemput sama
Mama mu?” tanya Risa lagi.
“Eto,
sebenarnya ini keperluan sesama teman aja. Nggak sampai keluarga.” Aku Nia
kemudian.
“Kalau begitu ya udah nggak jadi
diijinin.” Ucap Risa kemudian.
“Haaa, Risa. Kamu tadi denger aku
ngobrol di telepon kan? Tadi kamu denger aku kaget kan? Itu tentang temenku,
dia sedang butuh bantuanku sekarang juga, kumohon Risa. Kali ini aja.”
Risa menghela napas lagi, “Baiklah.”
“Makasih Risa. Ayo Ama, kita telat
nih.”
“Ayo ayo.” Nia lalu kemudian di
antar Ama dengan sepeda motornya hingga depan sekolah mereka untuk mencari
angkot.
“Nggak sekalian aku anter aja, kalau
emang telat?” tawar Ama ketka di tengah jalan.
“Nggak usah, kamu bantuin anak-anak
aja. Lagian kamu nggak bawa helm dua. Kalau sampai depan sekolah masih aman,
kalau sampai sana..., aku ragu kita bakalan selamat.” Cegah Nia. Sebenarnya dia
tidak ingin kalau Ama tahu ternyata tempat yang dituju Nia adalah sebuah café.
“Huh, ya udah deh.” Mereka lalu
melanjutkan perjalanan mereka, hingga akhirnya mereka sampai. Nia lalu turun
dari motornya Ama.
“Mau aku temenin sampai dapat
angkot?” tawar Ama kembali, dia malas jika harus balik sekarang dan berkutat
dengan yang namanya tugas.
“Nggak usah Ama. Btw, makasih ya. Semangat ya buat
nyelesaiin tugasnya, doaku mengiringi kalian.” Kata Nia dengan senyumannya yang
terkesan bernuansa kemenangan.
“Kalau begitu, cepatlah kembali. Aku
tidak bisa membantu banyak di sana.”
“Hm, aku akan kembali kalau kalian
belum selesai.” Ama lalu kemudian meninggalkan Nia yang kemudian menunggu
angkot. Dan akhirnya ada, ia lalu naik angkot tersebut menuju ke tempat tujuan.
Sesampainya di sana, Nia lalu
buru-buru masuk ke dalam cafe karena
ia tahu kalau temannya pasti sudah menunggunya. Tiba-tiba salah satu pelayan cafe menghampirinya. “Permisi, Nona.
Apakah Anda yang bernama Nia?” tanya si pelayan.
“Iya dengan saya sendiri.” Jawab Nia
mencoba sopan.
“Anda sudah ditunggu di dalam.”
“Oh
benarkah? Terimakasih kalau begitu.” Dia pergi ke dalam ruangan. Di cafe ini memang menyediakan dua tempat. Ada yang
berada di dalam cafe, dan ada yang
berada di dalam ruangan yang berada di dalam cafe.
Dia
lalu membuka pintu ruang tersebut, dan melihat meja di pojok kanan ruangan
sudah ada si Afa. Hanya dia seorang yang ada di sana. “Gomen, aku telat. Udah nunggu lama?” tanya Nia.
“Jangan
pakai bahasa alien.”
“Heh,
itu tadi kan cuma bahasa Jepang, artinya maaf.”
“Tetap
saja. Alien itu makhluk asing. Jadi bahasa asing sama saja bahasa alien.”
“Terse—
Hei jawab pertanyaanku, Afa!” sergah Nia yang kemudian meletakkan pantatnya di
sofa seberang meja Afa. Maksudku, mereka di meja berbeda. Mereka buat kesepakatan
untuk jaga jarak, walaupun mereka hanya berteman.
“Tentunya
kau lama.” Sahut Afa.
“Maaf
maaf.” Sesal Nia dengan senyuamannya dan sambi menggaruk tengkuknya yang tidak
gatal.
Dan
tanpa sadar, Afa pun tersenyum. “Ngomong-ngomong, ada apa?” tanya Nia sambil
menatap Afa. Afa yang tadinya tersenyum manis, kini merubah senyuman tersebut
hingga layak disebut menyeringai. “Tunggu dulu, bukannya tadi di telepon
suaramu sengau?! Dan ada apa dengan wajahmu itu?! Mungkinkah— Oh baiklah,
katakan maumu.” Nia lalu meletakkan kedua sikunya ke meja dan tangannya menjadi
topangan kedua pipinya yang bisa dibilang chubby
itu, oh jangan lupa wajah sebalnya itu.
“Maaf
membuat Anda menunggu.” Tiba-tiba pelayan yang tadi masuk dan membawa segelas ice cappucino. “Silakan,” katanya
setelah meletakkan minuman tersebut di meja Nia.
“E,
maaf saya tidak memesannya.” Katanya sambil mendorong minuman itu.
“Aku
yang memesannya.” Sahut Afa.
“Silakan
dinikmati.” Dan pelayan itupun pergi meninggalkan mereka berdua yang berada di
ruangan itu.
“Jadi?”
tanya Nia kemudian sambil mengaduk minumannya dengan sedotan. Lalu meminumnya.
“Ajarin
gue nembak.”
Nia
terbatuk. “Maaf-maaf.” Dia lalu mengambil tisu. Entah mengapa rasanya ketika
mendengar Afa tadi, dia merasa sesuatu yang buruk akan menimpannya kali ini.
Sesuatu yang buruk, tak bisa ia selesaikan, dan menyakitkan.
“Tunggu
dulu. Kenapa harus buru-buru?” Nia mencoba untuk terdengar seperti biasanya.
“Sebentar
lagi dia kelas 3. Bentar lagi dia lulus. Aku nggak mau kalau terus-terusan
kayak gini.” Terang Afa, sambil mengaduk-aduk minumannya. Menatap Nia.
“Mmm.
Aku belum pernah ditembak sama cowok sih, jadi mungkin aku nggak banyak
membantu. Tapi aku usahakan bisa.” Kata Nia, sambil tersenyum meyakinkan ke
arah Afa.
“Karena
itu aku memanggilmu kesini. Aku butuh saranmu. Setahuku kamu suka buat
cerpen-cerpen romance.”
“Haha”
Nia tertawa.
“Kenapa?”
tanya Afa.
“Cerpen?
Iya sih emang, tapi semua cerpen romance
yang kubuat. Semuanya sad ending tau.”
Afa
hanya tercengang.
“Yaa,
aku hanya mengambil sisi lain dari kebanyakan cerita romance. Tapi btw, aku tetep suka cerita romance kok.”
“Jadi
gimana menurutmu?”
“Mm”
Nia memegang dagunya dan tengah berpikir.
“Menurutku,
kau harus tahu dulu apa yang dia suka. Terus dia tipikal orang yang
bertele-tele apa yang suka terus terang. Kau harus tahu semua itu.”
“Setahuku
dia tipikal orang yang terus terang.”
“Kalo
gitu langsung ngomong aja ke dia.”
“Kurang
berkesan lah kalo Cuma kayak gitu.”
“Ya
udah kalo menurutku,”
***
“Udah selesai belum tugasnya?”
“Oh OK aku ke sana sekarang.”
Mengakhiri percakapan dengan temannya di ponselnya.
Nia
lalu kembali ke rumah temannya untuk kembali mengerjakan tugas kelompok mereka
yang belum selesai. Sebenarnya ia hanya ingin menenangkan diri.
“Ngapain
aja tadi? Kok cepet banget.” Tanya Tari ketika Nia sudah sampai di rumah Risa.
“Hanya
masalah kecil kok.”
“Temen
akrab banget?” tanya Ama.
“Nggak
kok Cuma akrab biasa.”
***
Weker membangunkannya di pagi hari.
Dengan mata tertutup dan tubuh masih terselimut mimpi ia mencoba untuk
menggapai weker yang berada di samping tempat tidurnya.
Jam menunjukkan pukul 5 pagi, ia
bergegas mengambil air wudhu dan bersiap sekolah. Ia melirik kalender
marchandise OOR miliknya. Tepat hari ini, ada sebuah lingkaran merah melingkari
tanggalnya. Dan sebuah note kecil yang sengaja ia tempelkan di dekat tanggal
tersebut.
Happy
for him.
“Happy
For him.” Ucapnya sebelum ia berangkat sekolah.
***
Nia memeriksa ponselnya ketika
bergetar, menandakkan pesan masuk dari Afa. Perpustakaan.
Itu isyarat bagi Nia, untuk menemui Afa saat jam istirahat.
“Hei Nia. Jangan main ponsel. Kau
sedang di awasi tahu.” Ujar Nana mengingatkan Nia.
Nia lalu meletakkan kembali
ponselnya, dan kembali fokus dengan pelajaran yang sedang dia terima.
“Maaf.”
“Dari dia?” tanya Nana.
Nia hanya mengangguk. “Na, nanti aku
nggak bisa ke kantin.”
“Hm oke. Nanti ceritakan semuanya
padaku. Kau aneh hari ini.”
“Tentunya.”
Saat bel istirahat berbunyi, Nia langsung
menuju ke perpustakaan. Dan mencari-cari. Perpustakaan ini memiliki sebuah
ruang petugas di sebelah kiri pintu masuk, sofa yang berjarak hanya beberapa
langkah dari pintu masuk. Di dekatnya terdapat 2 baris kursi dan meja yang di
tata saling berhadapan dengan meja tersebut terdapat kayu sebagai pembatas
kanan kiri dan depan meja satu dengan lainnya.
Terdapat ruang baca, yang berada di
belakang ruangan ini, dan juga terdapat beberapa rak buku layaknya perpustakan
biasanya di samping ruangan ini.
Ketemu. Afa sedang berdiri di antara
rak-rak buku sastra. Nia menghampiri Afa. “Afa.” Panggilnya lirih.
“Akhirnya datang juga.”
“Nih.” Menyerahkan bingkisan kepada
Afa.
Afa lalu melihat ke dalam bingkisan
itu. “Sama kayak yang aku kirim di BBM kok, tenang aja.”
“Hm, makasih banget ya Nia. Best
friend forever.” Ucapnya sambil tersenyum.
Happy
for him. Nia you can do it. “Tentunya. Mm Cuma itu kan? Aku mau langsung
balik ke kelas.” Sambil mengacungkan jempol ke belakang bahunya. Tanda ia ingin
segera pergi.
“Tunggu! Satu lagi. Nanti bisa
dateng nggak?” ajak Afa kemudian.
Can
you feel what I feel? Tentunya Nia bisa menolaknya, namun dia juga tidak
bisa menolaknya. Dia tidak punya alasan apapun, selain berbohong.
“Entah, tapi aku usahakan. Kalau
nggak ada kerja kelompok sih.”
“Oke aku tunggu nanti.”
“Mm, ya udah aku balik ke kelas
duluan. Bye”
“Makasih Nia.”
Nia meninggalkan perpustakaan menuju
ke kelasnya. Sambil berharap semoga ia sibuk nanti. Semoga ia bisa menyibukkan
diri. Semoga ada alasan untuk tidak datang. Alasan agar dia bisa tidak melihat
mereka bahagia.
***
“Nia cerita sama aku! Aneh banget
kamu hari ini.”
“Mmm, aku harus cerita apa?”
“Cerita mengenai kenapa kamu dari
tadi hanya ngaduk-aduk minumanmu. Lihat! Punyaku udah habis dari tadi.”
“Oh maaf.”
“Cuma maaf? Ayolah Nia cerita sama
aku!” Nia dan Nana kini mereka tengah di kantin sekolah, selepas kembalinya
Nia. Ternyata Nana dari tadi sudah menunggu Nana. Tentunya karena ia haus
dengan semua jawaban yang akan dilontarkan Nia. Haus akan alasan, mengapa
sahabatnya aneh hari ini.
“Nggak bisa.”
“Nggak bisa kenapa Nia?”
“Aku bingung harus ngasih alasan
gimana. Aku butuh kertas dan pensil.”
Nana menghela napas. Ia tahu,
sahabatnya ini memang sangat sulit untuk mengungkapkan apa yang dia rasakan.
Dan apabila sahabatnya meminta alat tulis, maka artinya masalah yang ia hadapi
sungguh berat.
“Nih, udah aku siapin dari tadi buat
jaga-jaga.” Sambil menyodorkan secarik kertas dan sebuah pensil.
“Aku
nggak bisa terus kayak gini. Aku tahu itu. Tapi, inilah satu-satunya cara agar
aku bisa dekat dengannya.”
“Kamu diapain lagi sama dia?”
“Dia mau nembak
si kakak kelas.”
“Astaga! Nia, udah waktunya kamu
ninggalin dia. Nggak ada lagi yang bisa kamu harapkan dari dia.”
Nia berhenti menulis. Ia tak kuasa
menorehkan karbon itu. Yang bisa ia lakukan hana diam, dan memandangi kertas
tersebut. Pikirannya kacau.
“Nia” panggil halus Nana sambil
memegangi bahu kecil Nia. Bahu itu terlihat kecil kurus, dan rapuh. Seakan
semua beban dalam hidupnya lah yang menyebabkan bahu itu sangat rapuh.
“Aku wanita yang
kuat.”
“Udah deh Nia, jangan naif. Nggak
ada orang yang bilang bahwa dirinya kuat dan pada saat yang sama ia menangis
pula.”
Mendengar perkataan Nana, Nia pun
memegang pipinya. “Eh”
“Di dunia ini laki-laki nggak Cuma
dia doang, kan?”
“Tapi nggak ada
laki-laki yang kayak dia di dunia ini. Nggak ada selain dia.”
“Iya, nggak ada lagi laki-laki yang
kayak dia di dunia ini. Laki-laki yang Cuma bisa buat cewek kuat kayak kamu
nangis.”
“Tapi seenggakya
biarkan aku ngungkapin perasaanku.”
“Kamu masih mau ditolak lagi?”
“Biarin yang
penting aku puas.”
“Kalau itu maumu ya udah ayo bangkit
dong, Nia.”
“Hm. Carikan alasan buatku, agar aku
bisa nggak ikut ke acaranya nanti. Buat aku sibuk, Na. Dia ngajakain aku buat
ikut kayak jadi saksinya gitu, Na. Buat aku sibuk, Na!”
“Oke oke Nia.”
***
Keesokkan harinya, Nia berangkat
sekolah seperti biasanya. Tepat di depan gerbang sekolah, ia bertemu dengan
Afa. Mereka saling berpapasan, dan mata mereka saling bertemu. Oke, sapa dia Nia. Anggap aja nggak ada yang
terjadi.
“Pagi Fa!”
“Pagi Nia.” Sahut Afa. Dan merekapun
akhirnya berjalan masuk bersama. Hening melanda mereka berdua. Nia, ia
ketakutan dengan apa yang akan ia tanyakan. Dia tidak ingin hening seperti ini.
Nia tahu, dia yang harus mengawali percakapan tapi ia terlalu takut untuk
menerima jawabannya.
“Nia, kenapa dari kemarin nggak
jawab telponku?”
“Aku sibuk Fa.”
“Hp” katanya lebih meminta.
“Buat apa?”
“Udah kesiniin aja.” Dan Nia
menyerahkan handphonenya tersebut ke Afa. Kemudian Afa seperti tengah
mengotak-atik sesuatu dengan handphone tersebut.
“Dengerin aja nanti.” Dan Afa pun
pergi menjauh dari Nia.
***
Memasang earphonenya dan mulai
mendengarkan sebuah rekaman. Dan melihat kiriman lainnya
Tell me
that you turned down the man
Who asked for your hand
'Cause you're waiting for me
And I know, you're gonna be away a while
But I've got no plans at all to leave
And would you take away my hopes and dreams and just stay with me?
All my senses come to life
While I'm stumbling home as drunk as I
Have ever been and I'll never leave again
'Cause you are the only one
And all my friends have gone to find
Another place to let their hearts collide
Who asked for your hand
'Cause you're waiting for me
And I know, you're gonna be away a while
But I've got no plans at all to leave
And would you take away my hopes and dreams and just stay with me?
All my senses come to life
While I'm stumbling home as drunk as I
Have ever been and I'll never leave again
'Cause you are the only one
And all my friends have gone to find
Another place to let their hearts collide
Just
promise me, you'll always be a friend
'Cause you are the only one
'Cause you are the only one
“Nia kamu kenapa?” tanya salah satu
temannya.
“Eh”
“Menangis?” tanyanya lagi.
“Mm?” dia lalu meraba pipinya. Benar
dia menangis. Entah kenapa dia harus menangisi orang yang tengah berfoto di
sana, dengan seorang wanita cantik yang baru saja ditembaknya.
Nia yakin dia telah merelakannya,
kenapa dia harus menangis untuk orang yang sama sekali tidak menyukainya?
Tidak. Afa tidak. Afa menyukai Nia. Afa menyukai Nia sebagai teman.
Lengkungan manis terpatri diwajah
Nia. “Aku lega.” Sejurus kata keluar dari mulutnya. Dia telah lega. Karena Afa
mengakuinya sebagai teman. Setidaknya, teman lebih baik. Pikirnya kemudian.
-END-
--------------------------------------------------------------------
Wkwk ini hanya sebuah kisah dimana rasa baperanku muncul kembali
Btw terimakasih yang udah mau membaca
Wassalamu'alaikum
salam phenanisheila
salam phenanisheila