Sabtu, 06 Agustus 2016

Cerpen Romance Remaja


Assalamu'alaikum,
Hai hai berjumpa lagi setelah skian lama hiatus
kali ini mimin mau pos cerita lagi, sekuel dari Stone cold
mmmm, apa lagi ya, ya pokoknya gitulah 
selamat membaca



THE ONLY ONE
“Thank you for everything, you have given to me, My Friend.”


            “Nia,” panggil seorang dengan suara baritone yang terdengar sengau miliknya di seberang telepon.
            “Iya.” Sahut Nia, seorang gadis berjilbab berumur 15 tahun itu kepada lawan bicaranya di seberang sambungan.
            “Ini aku Afa.”
            “Tentu saja aku tahu. Ada apa denganmu? Kau sakit? Suaramu terdengar beda.”
            Nia seorang gadis yang sekarang berada di tahun kedua SMA. Dia gadis yang berteman dengan seorang lelaki yang bernama Afa. Mereka sudah berteman selama 3 bulan. Tapi bila mengingat masa lalu mereka, maka mereka sudah terhitung berteman 1 tahun 3 bulan. Afa juga berada di tahun kedua namun ia memilih jurusan yang berbeda dengan Nia.
            “Kau sedang sibuk?” tanya Afa. Nia lalu melirik jam tangan yang bertengger di pergelangan tangan kirinya yang kurus itu. Waktu menunjukkan pukul 10.00 pagi di hari Sabtu. Hari ini dia sedang berada di rumah temannya, mengerjakan tugas. Bila dihitung, dia sudah disini selama 2 jam tentunya juga mereka sudah memulai kegiatan mereka.
            “Aku sedang berada di rumah teman. Tapi sebentar aku tanya du—”
            “Kalau memang sedang sibuk, tidak u—” mereka saling memotong kalimat.
            “Hei, Afa. Kau sudah lama mengenalku, bukan? Kau tahu aku keras kepala, kan?” aku Nia kepada Afa.
            “Nia—”
            “Aku akan kesana. Sekarang kamu dimana?”
            Terdengar Afa menghela napasnya di seberang telepon. “Memang keras kepala.” Lanjutnya kemudian.
            “Makanya jawab pertanyaanku, Afa!” perintah Nia. Ia tidak sadar kalau sekarang ini dia sedang berada di beranda rumah temannya, berada di kompleks perumahan.
            “Baiklah. Temui aku di cafe kesukaanku. Cepat.” Perintah Afa kemudian.
            “Cafe yang di dekat rumahmu?” tanya Nia belum mengerti.
            “Tentu saja.”
            “Oke. Diam dan duduk manis di sana. Aku naik angkot dan kemungkinan lama.”
            “Usahakan cepat.” Afa lalu menutup teleponnya. Begitupula Nia. Dia lalu melangkah masuk ke dalam rumah.
            “Dasar orang itu.” Cercanya kemudian.
            “Ada apa? Kayaknya asyik banget topiknya.” Sindir si pemilik rumah.
            “Maaf, aku cuma kaget aja tadi. Eh ngomong-ngomong Risa, aku ada keperluan mendadak nih. Di sini tapi belum selesai, gimana nih?” tanya Nia ke Risa dengan nada memelas, dan jangan lupa muka memelasnya.
            “Keperluan apa?” tanya Risa dengan penuh nada interogasi miliknya.
            “Ya pokoknya keperluan yang nggak bisa diganggu. Nanti aku kesini lagi kalau kalian belum selesai. Lagipula, tadi aku sudah nyumbang buat lagunya, kan?” aku Nia mencari-cari bahan permohonan.
            “Yee, kan cuma lagunya.” Sergah Risa. “Dan juga alasanmu kurang meyakinkan.” Lanjutnya kemudian.
            “Udah lah, ijinin aja dia. Kemarin aku juga ijin kan? Biar adil gitu.” Bela Tari yang juga jadi salah satu anggota kelompoknya, semua anggota kelompok yang gender nya perempuan semuanya memakai jilbab di kelas Nia.
            Risa menghela napas pasrahnya. “Baiklah tapi nanti balik lagi kesini.” Ucapnya kemudian.
            Nia yang mendengar hal ini langsung kegirangan dan menyahut, “Iya Risa. Nanti aku bakalan balik kesini kalau kalian belum selesai. Mm,” dia menoleh ke arah Ama.
            “Ama, kamu bosen kan disini? Daripada mati kebosanan di sini, mending cari angin yuk! Anterin aku ke depan SMA, cari angkot.” Pinta Nia ke Ama.
            “Kok angkot? Nggak di jemput sama Mama mu?” tanya Risa lagi.
            “Eto, sebenarnya ini keperluan sesama teman aja. Nggak sampai keluarga.” Aku Nia kemudian.
            “Kalau begitu ya udah nggak jadi diijinin.”  Ucap Risa kemudian.
            “Haaa, Risa. Kamu tadi denger aku ngobrol di telepon kan? Tadi kamu denger aku kaget kan? Itu tentang temenku, dia sedang butuh bantuanku sekarang juga, kumohon Risa. Kali ini aja.”
            Risa menghela napas lagi, “Baiklah.”
            “Makasih Risa. Ayo Ama, kita telat nih.”
            “Ayo ayo.” Nia lalu kemudian di antar Ama dengan sepeda motornya hingga depan sekolah mereka untuk mencari angkot.
            “Nggak sekalian aku anter aja, kalau emang telat?” tawar Ama ketka di tengah jalan.
            “Nggak usah, kamu bantuin anak-anak aja. Lagian kamu nggak bawa helm dua. Kalau sampai depan sekolah masih aman, kalau sampai sana..., aku ragu kita bakalan selamat.” Cegah Nia. Sebenarnya dia tidak ingin kalau Ama tahu ternyata tempat yang dituju Nia adalah sebuah cafĂ©.
            “Huh, ya udah deh.” Mereka lalu melanjutkan perjalanan mereka, hingga akhirnya mereka sampai. Nia lalu turun dari motornya Ama.
            “Mau aku temenin sampai dapat angkot?” tawar Ama kembali, dia malas jika harus balik sekarang dan berkutat dengan yang namanya tugas.
            “Nggak usah Ama. Btw, makasih ya. Semangat ya buat nyelesaiin tugasnya, doaku mengiringi kalian.” Kata Nia dengan senyumannya yang terkesan bernuansa kemenangan.
            “Kalau begitu, cepatlah kembali. Aku tidak bisa membantu banyak di sana.”
            “Hm, aku akan kembali kalau kalian belum selesai.” Ama lalu kemudian meninggalkan Nia yang kemudian menunggu angkot. Dan akhirnya ada, ia lalu naik angkot tersebut menuju ke tempat tujuan.
            Sesampainya di sana, Nia lalu buru-buru masuk ke dalam cafe karena ia tahu kalau temannya pasti sudah menunggunya. Tiba-tiba salah satu pelayan cafe menghampirinya. “Permisi, Nona. Apakah Anda yang bernama Nia?” tanya si pelayan.
            “Iya dengan saya sendiri.” Jawab Nia mencoba sopan.
            “Anda sudah ditunggu di dalam.”
“Oh benarkah? Terimakasih kalau begitu.” Dia pergi ke dalam ruangan. Di cafe  ini memang menyediakan dua tempat. Ada yang berada di dalam cafe, dan ada yang berada di dalam ruangan yang berada di dalam cafe.
Dia lalu membuka pintu ruang tersebut, dan melihat meja di pojok kanan ruangan sudah ada si Afa. Hanya dia seorang yang ada di sana. “Gomen, aku telat. Udah nunggu lama?” tanya Nia.
“Jangan pakai bahasa alien.”
“Heh, itu tadi kan cuma bahasa Jepang, artinya maaf.”
“Tetap saja. Alien itu makhluk asing. Jadi bahasa asing sama saja bahasa alien.”
“Terse— Hei jawab pertanyaanku, Afa!” sergah Nia yang kemudian meletakkan pantatnya di sofa seberang meja Afa. Maksudku, mereka di meja berbeda. Mereka buat kesepakatan untuk jaga jarak, walaupun mereka hanya berteman.
“Tentunya kau lama.” Sahut Afa.
“Maaf maaf.” Sesal Nia dengan senyuamannya dan sambi menggaruk tengkuknya yang tidak gatal.
Dan tanpa sadar, Afa pun tersenyum. “Ngomong-ngomong, ada apa?” tanya Nia sambil menatap Afa. Afa yang tadinya tersenyum manis, kini merubah senyuman tersebut hingga layak disebut menyeringai. “Tunggu dulu, bukannya tadi di telepon suaramu sengau?! Dan ada apa dengan wajahmu itu?! Mungkinkah— Oh baiklah, katakan maumu.” Nia lalu meletakkan kedua sikunya ke meja dan tangannya menjadi topangan kedua pipinya yang bisa dibilang chubby itu, oh jangan lupa wajah sebalnya itu.
“Maaf membuat Anda menunggu.” Tiba-tiba pelayan yang tadi masuk dan membawa segelas ice cappucino. “Silakan,” katanya setelah meletakkan minuman tersebut di meja Nia.
“E, maaf saya tidak memesannya.” Katanya sambil mendorong minuman itu.
“Aku yang memesannya.” Sahut Afa.
“Silakan dinikmati.” Dan pelayan itupun pergi meninggalkan mereka berdua yang berada di ruangan itu.
“Jadi?” tanya Nia kemudian sambil mengaduk minumannya dengan sedotan. Lalu meminumnya.
“Ajarin gue nembak.”
Nia terbatuk. “Maaf-maaf.” Dia lalu mengambil tisu. Entah mengapa rasanya ketika mendengar Afa tadi, dia merasa sesuatu yang buruk akan menimpannya kali ini. Sesuatu yang buruk, tak bisa ia selesaikan, dan menyakitkan.
“Tunggu dulu. Kenapa harus buru-buru?” Nia mencoba untuk terdengar seperti biasanya.
“Sebentar lagi dia kelas 3. Bentar lagi dia lulus. Aku nggak mau kalau terus-terusan kayak gini.” Terang Afa, sambil mengaduk-aduk minumannya. Menatap Nia.
“Mmm. Aku belum pernah ditembak sama cowok sih, jadi mungkin aku nggak banyak membantu. Tapi aku usahakan bisa.” Kata Nia, sambil tersenyum meyakinkan ke arah Afa.
“Karena itu aku memanggilmu kesini. Aku butuh saranmu. Setahuku kamu suka buat cerpen-cerpen romance.”
“Haha” Nia tertawa.
“Kenapa?” tanya Afa.
“Cerpen? Iya sih emang, tapi semua cerpen romance yang kubuat. Semuanya sad ending tau.”
Afa hanya tercengang.
“Yaa, aku hanya mengambil sisi lain dari kebanyakan cerita romance. Tapi btw, aku tetep suka cerita romance kok.”
“Jadi gimana menurutmu?”
“Mm” Nia memegang dagunya dan tengah berpikir.
“Menurutku, kau harus tahu dulu apa yang dia suka. Terus dia tipikal orang yang bertele-tele apa yang suka terus terang. Kau harus tahu semua itu.”
“Setahuku dia tipikal orang yang terus terang.”
“Kalo gitu langsung ngomong aja ke dia.”
“Kurang berkesan lah kalo Cuma kayak gitu.”
“Ya udah kalo menurutku,”
***
            “Udah selesai belum tugasnya?”
            “Oh OK aku ke sana sekarang.” Mengakhiri percakapan dengan temannya di ponselnya.
Nia lalu kembali ke rumah temannya untuk kembali mengerjakan tugas kelompok mereka yang belum selesai. Sebenarnya ia hanya ingin menenangkan diri.
“Ngapain aja tadi? Kok cepet banget.” Tanya Tari ketika Nia sudah sampai di rumah Risa.
“Hanya masalah kecil kok.”
“Temen akrab banget?” tanya Ama.
“Nggak kok Cuma akrab biasa.”
***
            Weker membangunkannya di pagi hari. Dengan mata tertutup dan tubuh masih terselimut mimpi ia mencoba untuk menggapai weker yang berada di samping tempat tidurnya.
            Jam menunjukkan pukul 5 pagi, ia bergegas mengambil air wudhu dan bersiap sekolah. Ia melirik kalender marchandise OOR miliknya. Tepat hari ini, ada sebuah lingkaran merah melingkari tanggalnya. Dan sebuah note kecil yang sengaja ia tempelkan di dekat tanggal tersebut.
            Happy for him.
            “Happy For him.” Ucapnya sebelum ia berangkat sekolah.
***
            Nia memeriksa ponselnya ketika bergetar, menandakkan pesan masuk dari Afa. Perpustakaan. Itu isyarat bagi Nia, untuk menemui Afa saat jam istirahat.
            “Hei Nia. Jangan main ponsel. Kau sedang di awasi tahu.” Ujar Nana mengingatkan Nia.
            Nia lalu meletakkan kembali ponselnya, dan kembali fokus dengan pelajaran yang sedang dia terima.
            “Maaf.”
            “Dari dia?” tanya Nana.
            Nia hanya mengangguk. “Na, nanti aku nggak bisa ke kantin.”
            “Hm oke. Nanti ceritakan semuanya padaku. Kau aneh hari ini.”
            “Tentunya.”
            Saat bel istirahat berbunyi, Nia langsung menuju ke perpustakaan. Dan mencari-cari. Perpustakaan ini memiliki sebuah ruang petugas di sebelah kiri pintu masuk, sofa yang berjarak hanya beberapa langkah dari pintu masuk. Di dekatnya terdapat 2 baris kursi dan meja yang di tata saling berhadapan dengan meja tersebut terdapat kayu sebagai pembatas kanan kiri dan depan meja satu dengan lainnya.
            Terdapat ruang baca, yang berada di belakang ruangan ini, dan juga terdapat beberapa rak buku layaknya perpustakan biasanya di samping ruangan ini.
            Ketemu. Afa sedang berdiri di antara rak-rak buku sastra. Nia menghampiri Afa. “Afa.” Panggilnya lirih.
            “Akhirnya datang juga.”
            “Nih.” Menyerahkan bingkisan kepada Afa.
            Afa lalu melihat ke dalam bingkisan itu. “Sama kayak yang aku kirim di BBM kok, tenang aja.”
            “Hm, makasih banget ya Nia. Best friend forever.” Ucapnya sambil tersenyum.
            Happy for him. Nia you can do it. “Tentunya. Mm Cuma itu kan? Aku mau langsung balik ke kelas.” Sambil mengacungkan jempol ke belakang bahunya. Tanda ia ingin segera pergi.
            “Tunggu! Satu lagi. Nanti bisa dateng nggak?” ajak Afa kemudian.
            Can you feel what I feel? Tentunya Nia bisa menolaknya, namun dia juga tidak bisa menolaknya. Dia tidak punya alasan apapun, selain berbohong.
            “Entah, tapi aku usahakan. Kalau nggak ada kerja kelompok sih.”
            “Oke aku tunggu nanti.”
            “Mm, ya udah aku balik ke kelas duluan. Bye
            “Makasih Nia.”
            Nia meninggalkan perpustakaan menuju ke kelasnya. Sambil berharap semoga ia sibuk nanti. Semoga ia bisa menyibukkan diri. Semoga ada alasan untuk tidak datang. Alasan agar dia bisa tidak melihat mereka bahagia.
***
            “Nia cerita sama aku! Aneh banget kamu hari ini.”
            “Mmm, aku harus cerita apa?”
            “Cerita mengenai kenapa kamu dari tadi hanya ngaduk-aduk minumanmu. Lihat! Punyaku udah habis dari tadi.”
            “Oh maaf.”
            “Cuma maaf? Ayolah Nia cerita sama aku!” Nia dan Nana kini mereka tengah di kantin sekolah, selepas kembalinya Nia. Ternyata Nana dari tadi sudah menunggu Nana. Tentunya karena ia haus dengan semua jawaban yang akan dilontarkan Nia. Haus akan alasan, mengapa sahabatnya aneh hari ini.
            “Nggak bisa.”
            “Nggak bisa kenapa Nia?”
            “Aku bingung harus ngasih alasan gimana. Aku butuh kertas dan pensil.”
            Nana menghela napas. Ia tahu, sahabatnya ini memang sangat sulit untuk mengungkapkan apa yang dia rasakan. Dan apabila sahabatnya meminta alat tulis, maka artinya masalah yang ia hadapi sungguh berat.
            “Nih, udah aku siapin dari tadi buat jaga-jaga.” Sambil menyodorkan secarik kertas dan sebuah pensil.
            Aku nggak bisa terus kayak gini. Aku tahu itu. Tapi, inilah satu-satunya cara agar aku bisa dekat dengannya.”
            “Kamu diapain lagi sama dia?”
            “Dia mau nembak si kakak kelas.
            “Astaga! Nia, udah waktunya kamu ninggalin dia. Nggak ada lagi yang bisa kamu harapkan dari dia.”
            Nia berhenti menulis. Ia tak kuasa menorehkan karbon itu. Yang bisa ia lakukan hana diam, dan memandangi kertas tersebut. Pikirannya kacau.
            “Nia” panggil halus Nana sambil memegangi bahu kecil Nia. Bahu itu terlihat kecil kurus, dan rapuh. Seakan semua beban dalam hidupnya lah yang menyebabkan bahu itu sangat rapuh.
            “Aku wanita yang kuat.
            “Udah deh Nia, jangan naif. Nggak ada orang yang bilang bahwa dirinya kuat dan pada saat yang sama ia menangis pula.”
            Mendengar perkataan Nana, Nia pun memegang pipinya. “Eh”
            “Di dunia ini laki-laki nggak Cuma dia doang, kan?”
            “Tapi nggak ada laki-laki yang kayak dia di dunia ini. Nggak ada selain dia.
            “Iya, nggak ada lagi laki-laki yang kayak dia di dunia ini. Laki-laki yang Cuma bisa buat cewek kuat kayak kamu nangis.”
            “Tapi seenggakya biarkan aku ngungkapin perasaanku.
            “Kamu masih mau ditolak lagi?”
            “Biarin yang penting aku puas.
            “Kalau itu maumu ya udah ayo bangkit dong, Nia.”
            “Hm. Carikan alasan buatku, agar aku bisa nggak ikut ke acaranya nanti. Buat aku sibuk, Na. Dia ngajakain aku buat ikut kayak jadi saksinya gitu, Na. Buat aku sibuk, Na!”
            “Oke oke Nia.”
***
            Keesokkan harinya, Nia berangkat sekolah seperti biasanya. Tepat di depan gerbang sekolah, ia bertemu dengan Afa. Mereka saling berpapasan, dan mata mereka saling bertemu. Oke, sapa dia Nia. Anggap aja nggak ada yang terjadi.
            “Pagi Fa!”
            “Pagi Nia.” Sahut Afa. Dan merekapun akhirnya berjalan masuk bersama. Hening melanda mereka berdua. Nia, ia ketakutan dengan apa yang akan ia tanyakan. Dia tidak ingin hening seperti ini. Nia tahu, dia yang harus mengawali percakapan tapi ia terlalu takut untuk menerima jawabannya.
            “Nia, kenapa dari kemarin nggak jawab telponku?”
            “Aku sibuk Fa.”
            “Hp” katanya lebih meminta.
            “Buat apa?”
            “Udah kesiniin aja.” Dan Nia menyerahkan handphonenya tersebut ke Afa. Kemudian Afa seperti tengah mengotak-atik sesuatu dengan handphone tersebut.
            “Dengerin aja nanti.” Dan Afa pun pergi menjauh dari Nia.

***
            Memasang earphonenya dan mulai mendengarkan sebuah rekaman. Dan melihat kiriman lainnya
Tell me that you turned down the man
Who asked for your hand
'Cause you're waiting for me
And I know, you're gonna be away a while
But I've got no plans at all to leave

And would you take away my hopes and dreams and just stay with me?

All my senses come to life
While I'm stumbling home as drunk as I
Have ever been and I'll never leave again
'Cause you are the only one
And all my friends have gone to find
Another place to let their hearts collide
Just promise me, you'll always be a friend
'Cause you are the only one
            “Nia kamu kenapa?” tanya salah satu temannya.
            “Eh”
            “Menangis?” tanyanya lagi.
            “Mm?” dia lalu meraba pipinya. Benar dia menangis. Entah kenapa dia harus menangisi orang yang tengah berfoto di sana, dengan seorang wanita cantik yang baru saja ditembaknya.
            Nia yakin dia telah merelakannya, kenapa dia harus menangis untuk orang yang sama sekali tidak menyukainya? Tidak. Afa tidak. Afa menyukai Nia. Afa menyukai Nia sebagai teman.
            Lengkungan manis terpatri diwajah Nia. “Aku lega.” Sejurus kata keluar dari mulutnya. Dia telah lega. Karena Afa mengakuinya sebagai teman. Setidaknya, teman lebih baik. Pikirnya kemudian.

-END-


--------------------------------------------------------------------
Wkwk ini hanya sebuah kisah dimana rasa baperanku muncul kembali
Btw terimakasih yang udah mau membaca 
Wassalamu'alaikum
salam phenanisheila

Tidak ada komentar:

Posting Komentar